Syaikhuna al-Alim
al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin
Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin
al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil
dengan nama Qusyairi pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang
salah satu tema yang selalu actual diberbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni
wacana tentang Nur Muhammad dalam pengajiannya beliau di komplek al raudha
sekumpul martapura. Berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah yang
dimaksud Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa
tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di
dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah
Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun.
Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan
dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur
Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq
(sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat
yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah
diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul
Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis
yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula
dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan
terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah),
bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat
tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas
sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari
Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan
ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan
sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan
sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut
berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada
pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka,
Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang
diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh
mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam
bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La
ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh,
betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama
Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah
kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan
arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan
karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan
kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat
dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan
hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak
menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun
gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam
mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan
kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur
Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi
pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau
ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang
sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang
harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada
pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu
dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan
kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua,
ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh
Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para
penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah
Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh
dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan
roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut
kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek
moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari
penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air,
air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal
dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari
Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad.
Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang
mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur
Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur
Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada
satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan
dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang
memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana
mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada
tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir
dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah
martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang
menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul
di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga
membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya
menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan
dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad
Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat
al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah).
Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang
lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka
dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang
rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum
diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk
lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus
dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan
Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam
dimensi fisik dan realiti.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad
sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini
pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada
Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’,
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil
fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah
Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama
sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan
dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya
tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al
Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya
secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal
(akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan
Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut
al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan),
al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan
dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang
paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum
alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari
satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni
Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin),
Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur
Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam
di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga
sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh
tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang
beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat
Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin
Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat
tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah
mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan
pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah
al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah
Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi,
serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar
al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli
(manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu
khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di
langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah
al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan
Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah
al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila
Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu
yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat;
ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang
wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat
tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama
Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang
dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman
el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani;
Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada
Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah
(2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat
Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia
manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap
di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati.
Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar
dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat
dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat
dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang
dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu
pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan
mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu
‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan
menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut
martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan
martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih
(ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah
(ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa);
martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan);
Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam
benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya
terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk
itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak
nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata)
secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang
Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih
(ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia
akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia
dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat
dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah
merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari
air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad
merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan
tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M
(Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk,
Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru
Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu
tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat
Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber
dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur
Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju
makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini.
Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan
sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia
berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang
membatasinya.