Jumat, 01 November 2013
STEMPEL-CAP-TANDA KENABIAN (KHATAM AN-NUBUWWAH)
Gambar ini adalah dua contoh gambar Khatam an-Nubuwwah (Stempel-cap-tanda Kenabian), seperti yang terdapat pada belikat (di antara kedua bahu) Rasulullah Saw.
Keterangan Gambar:
• Bagian tengah: اللهُ وَحْدَهُ لَاشَريْكَ لَهُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ “Allahu wahdahu laa syariika lahu muhammadun ‘abduhu warasuluhu” (Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya, Nabi Muhammad hamba dan utusanNya).
• Baris kanan: تَوَجَّهُ حَيْثُ شئْتَ “Tawajjahu haitsu syi’ta” (Kamu (wahai Muhammad Saw.) menghadap ke arah mana pun).
• Baris kiri: فَانَّكَ مَنْصُوْرٌ “Fainnaka manshurun” (Maka sesusungguhnya engkau (Nabi Muhammad Saw.) akan dibantu).
A. Bentuk Khatam An-Nubuwwah dan Faidah Memandangnya
Manakala Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. menceritakan sifat-sifat Rasulullah Saw., maka ia akan bercerita panjang lebar dan akan berkata: “Di antara kedua bahu Rasulullah Saw. terdapat khatam (tanda) kenabian, yaitu khatam para nabi.” (HR. Ahmad ‘Ubadah adh-Dhabi, Ali bin Hujr dan lainnya, yang mereka terima dari Isa bin Yunus dari Umar bin Abdullah dari Ibrahim bin Muhammad yang bersumber dari salah seorang putera Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.).
Dari Jabir bin Samurah Ra. mengemukakan perihal Khatam Nabi sebagai berikut: “Aku pernah melihat khatam (kenabian), ia terletak di antara kedua bahu Rasulullah Saw. Bentuknya seperti sepotong daging berwarna merah sebesar telur burung dara.” (HR. Sa’id bin Ya’qub ath-Thalaqani dari Ayub bin Jabir dari Simak bin Harb yang bersumber dari Jabir bin Samurah Ra.)
Dalam Syarh al-Barzanji dikatakan: “Ia (Khatam an-Nubuwwah) adalah daging atau lemak yang hitam (nampak timbul) bercampur kekuningan (seperti urat), lalu sekelilingnya itu ada bulu-bulu rambut yang beriring-iringan seperti bulu kuda (yang halus).
Khatam an-Nubuwwah atau tanda, cap, stempel kenabian atau biasa disebut sebagai lambang “tawajjuh” merupakan cap kenabian sebagai salah satu legalitas tanda kenabian Rasulullah Muhammad Saw. Khatam an-Nubuwwah ini terdapat pada antara pundak Rasulullah Saw. Munculnya stempel kenabian ini dikatakan sejak Rasulullah Saw. dilahirkan. Pendapat lain mengatakan munculnya setelah beberapa saat dilahirkan. Begitu muncul tanda kenabian tersebut bersamaan dengan keluarnya cahaya yang menjulang tinggi ke atas langit.
Diantara asrar (rahasia) dari Khatam an-Nubuwwah tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi Ra.: “Siapa yang berwudhu kemudian melihatnya (Khatam an-Nubuwwah) di waktu Shubuh, maka Allah menjaganya sampai sore hari. Siapa yang melihatnya di waktu Maghrib, maka Allah menjaganya sampai waktu Shubuh. Siapa yang melihatnya pada permulaan bulan, maka Allah menjaganya sampai akhir bulan dari bala’ dan marabahaya. Siapa yang melihatnya pada waktu bepergian, maka kepergiannya akan menjadi berkah. Dan siapa yang meninggal pada tahun itu juga, maka Allah menutupnya dengan keimanan. Yang terpenting yang saya kehendaki dari Allah bahwa orang yang melihatnya dengan pandangan cinta dan iman sepanjang umurnya sekali saja, maka Allah menjaganya dari semua yang dibenci sampai berjumpa dengan Allah.” (Madarij ash-Shu’ud Syarh al-Barzanji halaman 50-52).
Imam al-Qurthubi Ra. berkata: “Dalam hadits-hadits yang shahih menyatakan bahwa Khatam an-Nubuwwah adalah gumpalan daging berwarna merah terletak dekat dengan bahu sebelah kiri. Ketika Rasulullah Saw. masih kecil, Khatam an-Nubuwwah tersebut sebesar telur burung merpati dan kemudian membesar sekira segenggam tangan.” (Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadir).
Al-Allamah az-Zurqani dalam al-Mawahib al-Laduniyyah Syarh ‘ala asy-Syamail al-Muhammadiyyah berkata: “Al-Hakim dan at-Tirmidzi berkata: “Ia (Khatam an-Nubuwwah) bagaikan telur burung merpati. Di dalamnya tertulis kalimat: “Allahu wahdahu laa syariika lahu.” Dan di luarnya tertulis: “Tawajjahu haitsu syi’ta. Fainnaka manshurun.” Sedangkan dalam Tarikh an-Naisabur menambahkan: “ Di dalam Khatam an-Nubuwwah itu juga tertulis: “Muhammadun rasulullah.” (Al-Mawahib al-Laduniyyah Syarh ‘ala asy-Syamail al-Muhammadiyya juz 1 halamaman 85).
B. Hadits-hadits Tentang Khatam An-Nubuwwah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ رَأَيْتُ خَاتَمًا فِي ظَهْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّهُ بَيْضَةُ حَمَامٍ و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا حَسَنُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Jabir bin Samurah berkata: “Aku melihat sebuah cap (stempel) di punggung Rasulullah Saw. kira-kira sebesar telur merpati.” (HR. Muslim hadits no. 2344).
وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ قَالاَ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ وَهُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ عَنِ الْجَعْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ ذَهَبَتْ بِي خَالَتِي إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابْنَ أُخْتِي وَجِعٌ فَمَسَحَ رَأْسِي وَدَعَا لِي بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَشَرِبْتُ مِنْ وَضُوئِهِ ثُمَّ قُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِهِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ مِثْلَ زِرِّ الْحَجَلَةِ
As-Saib bin Yazid berkata: “Aku dan bibiku pergi kepada Rasulullah Saw. Lalu bibiku berkata kepada beliau: “Ya Rasulullah, keponakanku sakit.” Maka beliau Saw. mengusap kepalaku, kemudian beliau mendoakan keberkahan bagiku. Sesudah itu beliau berwudhu lalu kuminum sisa air wudhunya. Kemudian aku berdiri di belakang beliau, aku melihat cap kenabian beliau terletak antara kedua bahu kira-kira sebesar telur burung.” (HR. Muslim hadits no. 2345).
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ و حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ كِلاَهُمَا عَنْ عَاصِمٍ اْلأَحْوَلِ ح و حَدَّثَنِي حَامِدُ بْنُ عُمَرَ الْبَكْرَاوِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَرْجِسَ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَلْتُ مَعَهُ خُبْزًا وَلَحْمًا أَوْ قَالَ ثَرِيدًا قَالَ فَقُلْتُ لَهُ أَسْتَغْفَرَ لَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ وَلَكَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الْآيَةَ {وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ} قَالَ ثُمَّ دُرْتُ خَلْفَهُ فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ عِنْدَ نَاغِضِ كَتِفِهِ الْيُسْرَى جُمْعًا عَلَيْهِ خِيلاَنٌ كَأَمْثَالِ الثَّآلِيلِ
Abdullah bin Sarjis Ra. berkata: “Saya pernah melihat dan makan roti serta daging (atau dia berkata bubur daging) bersama Rasulullah Saw.” Perawi berkata: “Saya bertanya kepada Abdullah bin Sarjis: “Apakah Nabi Muhammad memohonkan ampun untukmu?” Kemudian Abdullah bin Sarjis menjawab: “Ya, dan untuk kamu juga.” Lalu dia membaca ayat: “Mohonkanlah ampunan (hai Muhammad) atas dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad ayat 19). Kemudian Abdullah bin Sarjis berkata: “Lalu saya berputar ke belakang Rasulullah dan saya melihat tanda kenabian di antara dua pundak beliau, yaitu dekat punuk pundak kirinya. Pada tanda kenabian itu ada tahi lalat sebesar kutil.” (HR. Muslim hadits no. 2346).
C. Pengalaman Para Sahabat Nabi Saw. Tentang Khatam An-Nubuwwah
1. Ukasyah bin Muhshan Ra.
Ibnu Abbas Ra. Meriwayatkan: “Menjelang hari-hari terakhir wafatnya Rasulullah Saw., beliau memerintahkan kepada Bilal Ra. untuk mengumandangkan adzan. Orang-orang berdatangan menuju ke Masjid Nabi. Mereka berkumpul, baik dari golongan kaum Muhajirin maupun Anshar.
Kemudian Rasulullah Saw. memimpin shalat dua rakaat dengan bacaan yang ringan, atau tidak membaca ayat-ayat yang panjang. Kaum muslimin yang hadir bermakmum kepada beliau. Usai shalat, Rasulullah Saw. naik ke mimbar. Beliau membaca hamdalah dan kemudian menyampaikan beberapa nasihat dengan kata-kata yang tegas.
Para sahabat yang mendengar suara Rasulullah Saw. saat itu menjadi gemetar hatinya. Perlahan tapi pasti, mereka semua kemudian menangis.
“Wahai kaum muslimin,” seru Rasulullah Saw., “sesungguhnya aku ini adalah nabi dan sekaligus penasihat bagi kalian. Aku ini juga sebagai orang yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan izinNya. Aku ini bagaikan saudara kandung yang sayang dan laksana ayah yang welas asih.” Demikian diantaranya bunyi sabda Rasulullah Saw. saat itu.
“Barangsiapa yang mempunyai hak atas diriku yang bisa dituntut, maka hendaklah ia berdiri dan membalas haknya kepadaku saat ini, sebelum aku dituntut balas di hari kiamat nanti,” lanjut Rasulullah Saw.
Semua hadirin menjadi terdiam dalam tangis mereka. Tak seorang pun yang berdiri untuk menuntut balas kepada Nabi yang mereka cintai itu. Sehingga Rasulullah Saw. merasa perlu untuk mengulang pernyataannya saat itu hingga dua sampai tiga kali.
Setelah Rasulullah Saw. mengulang pernyataannya untuk yang ketiga kalinya, maka berdirilah salah seorang diantara yang hadir. Dia adalah Ukasyah bin Muhshan. “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah. Sekiranya engkau tidak mengumumkan hal ini sampai tiga kali, maka aku tidak akan mengatakan hal ini. Aku pernah bersamamu pada Perang Badar. Ketika itu, untaku tengah mengikuti untamu. Aku turun dari untaku dengan maksud untuk mendekatimu dan mencium kakimu,” ujar Ukasyah menceritakan pengalamannya.
“Akan tetapi,” lanjut Ukasyah, “tiba-tiba saja engkau mengangkat cambukmu dan memukulkannya ke arah untamu, agar ia berjalan dengan cepat. Pada saat itu, ujung cambukmu telah mengenai tiga ruas tulang rusukku. Aku tak tahu, apakah saat itu engkau sengaja mengenaiku atau tidak,” ujar Ukasyah mengakhiri ceritanya.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Ukasyah, sesungguhnya Rasulullah dijauhkan dari bersikap sengaja memukulmu.” Kemudian Rasulullah Saw. berpaling ke arah sahabat Bilal Ra. seraya berkata: “Hai Bilal, pergilah ke rumah Fathimah dan ambilkan cambuk saya.”
Lalu sahabat Bilal Ra. keluar dari masjid sembari meletakkan tangannya di atas kepalanya. “Rasulullah telah menyediakan dirinya untuk diqishash,” gumamnya lirih. Setibanya di rumah Fathimah Ra., Bilal mengetuk pintu. Setelah Sayyidah Fathimah bertanya tentang siapa yang datang, Bilal menjawab: “Aku Bilal, bermaksud untuk mengambil cambuk Rasulullah Saw.”
“Bilal, ada apakah gerangan sehingga ayahku memerlukan cambuknya?” tanya Fathimah Ra.
“Sesungguhnya, ayahmu telah menyediakan dirinya untuk diqishash,” jawab Bilal Ra.
Mendengar keterangan Bilal itu, Fathimah Ra. menangis. “Bilal, siapakah gerangan yang sampai hati akan mengqishash Rasulullah?” Tanya Fathimah Ra. di sela-sela isak tangisnya sembari menyerahkan cambuk Rasulullah Saw. kepada sahabat Bilal Ra.
Sahabat Bilal Ra. terdiam. Ia sendiri merasa bersedih dengan kejadian itu. Setelah menerima cambuk Rasulullah Saw. tersebut, ia segera berlalu dari hadapan Fathimah menuju ke masjid lagi.
Setibanya Bilal di masjid, segera cambuk itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Selanjutnya, beliau Saw. menyerahkan cambuk itu kepada Ukasyah. Detik-detik pelaksanaan qishash akan segera berlangsung.
Sahabat Abu Bakar Ra. dan Umar Ra. tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi terhadap diri Rasulullah Saw. Dengan serentak, kedua sahabat Rasulullah Saw. tersebut berdiri dan meminta kepada Ukasyah agar menjadikan mereka sebagai penerima qishash yang ditujukan untuk Rasulullah Saw. tersebut.
“Hai Abu Bakar dan Umar, kalian duduklah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui tempat kalian berdua,” ujar Rasulullah Saw.
Sahabat Ali Kw. pun segera bediri dan berseru kepada Ukasyah: “Ukasyah, selama hidupku, aku selalu mendampingi Rasulullah Saw. Ini punggung dan perutku, jatuhkanlah qishash itu padaku. Cambuklah aku saja dengan tanganmu.”
Rasulullah Saw. pun memerintahkan agar sahabat Ali Kw. untuk duduk kembali. “Duduklah Ali. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui niat dan tempatmu,” perintah Rasulullah Saw.
Dua orang putra sahabat Ali Kw., yakni Hasan dan Husain, kemudian berdiri menyusul ayah mereka. Kedua orang ini merupakan cucu kesayangan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. kerap menggendong mereka dan meredakan tangisan mereka di masa mereka masih berusia kanak-kanak. Kini, mereka telah menjadi dua pemuda titisan darah Rasulullah Saw. dan tampil ingin membela kakeknya. “Ukasyah, bukankah engkau mengetahui betul bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah? Oleh karena itu, jika engkau menjatuhkan qishash tersebut kepada kami, itu sama saja dengan engkau telah mengqishash Rasulullah Saw.,” ujar kedua cucu Rasulullah Saw. tersebut.
“Buah hatiku,” tegur Rasulullah kepada Hasan dan Husain, “duduklah kalian berdua,” lanjut Rasulullah Saw. Keduanya pun mematuhi kata-kata Rasulullah Saw.
Selanjutnya Rasulullah Saw. memandang Ukasyah yang hanya diam membisu mendengarkan segala pembelaan dari sahabat dan keluarga Rasulullah Saw. tersebut. “Hai Ukasyah, sekarang mulailah laksanakan qishashmu. Cambuklah aku,” ucap Rasulullah Saw. kepada Ukasyah.
Namun Ukasyah masih mengajukan syarat lainnya. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ketika aku terkena cambukanmu waktu itu, aku tidak mengenakan pakaian.”
Tanpa berkata-kata lagi, Rasulullah Saw. langsung membuka pakaiannya. Hingga tampaklah badan Rasulullah Saw. dari bagian perutnya hingga ke atas. Putih dan penuh cahaya barakah.
Menyaksikan pemandangan itu, serentak semua sahabat yang hadir menjerit dan menangis pilu. Mereka tak sampai hati melihat Rasulullah Saw. diperlakukan seperti itu. Tetapi, yang demikian itu adalah kehendak Rasulullah Saw. Dan kehendak Rasulullah Saw. berarti sama juga dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.
Sementara itu, Ukasyah yang memandang tubuh Rasulullah Saw. dari jarak yang paling dekat, menjadi gemetar sekujur tubuhnya. Selama beberapa menit, ia telah menahan gejolak perasaannya untuk memperoleh kesempatan yang diidam-idamkan. Sebuah keinginan yang sudah tertancap sejak awai keislamannya. Keinginan itu pernah ingin ia laksanakan pada masa Perang Badar, tetapi tak juga dapat terlaksana.
Bahkan, gara-gara keinginannya itulah, ia terkena sabetan cambuk Rasulullah Saw. Dan justru karena sabetan cambuk itulah, maka Allah memberikan kesempatan emas itu lagi kepadanya. Kasih sayang Allah kepada Ukasyah sudah barang tentu sangatlah besar. Sehingga, Allah merancang skenario untuk membuat Ukasyah dapat melaksanakan keinginannya itu.
Keinginan Ukasyah itu adalah mencium bagian tubuh Rasulullah Saw. Sebab, ia ingin memperoleh berkah dari tubuh kekasih Allah yang mulia itu. Kini, kesempatan yang ia peroleh bukan saja sekadar mencium bagian kaki Rasulullah Saw. Melainkan ia memiliki peluang untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah Saw. Ukasyah menangis keras dan memeluk tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh kerinduan.
Ia segera memeluk tubuh Rasulullah Saw. yang putih bersinar itu dan mencium tanda kenabian beliau. Tanda kenabian itu terletak di punggung Rasulullah Saw. Tepat di antara dua belikatnya. Di sana tertulis kalimat “Bakhin bakhin manshurun tawajjah haitsu syi’ta fa innahu manshur” (Bagus, bagus. Orang yang ditolong, datanglah menghadap sekiranya engkau kehendaki. Maka, sesungguhnya dia adalah orang yang ditolong).
Tanda kenabian itulah yang pernah juga dicium oleh seorang rahib, yang karena hal itu, ia lalu dimuliakan oleh Allah dan dijamin oleh Allah akan terlepas dari siksa neraka. Derajat itulah yang diinginkan oleh Ukasyah. Ia ingin terlepas dari siksa neraka dengan sebab mencium tanda kenabian itu.
“Ya Rasulullah, aku rela menebus jiwamu dengan jiwaku. Maka, bagaimana mungkin aku sampai hati mengqishash dirimu. Sungguh, aku melakukan hal ini agar badanku dapat bersentuhan dengan badanmu. Sehingga, dengan demikian, Allah akan menghindarkan aku dari siksa api neraka dengan sebab kemuliaanmu,” ujar Ukasyah seraya menangis tersedu-sedu.
Rasulullah Saw. kemudian memandang kepada para hadirin seraya bersabda: “Ketahuilah, jika kalian ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang ini.”
Orang yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. itu tak lain adalah Ukasyah, seorang sahabat yang rela menerima segala kecurigaan para sahabat Rasul lainnya tentang dirinya yang dianggap ingin mengqishash Rasulullah Saw. Hal itu ia lakukan dengan sabar, demi untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah Saw.
Mendengar sabda Rasulullah Saw. tersebut, para sahabat serempak berdiri mengucapkan selamat kepada Ukasyah. “Hai Ukasyah, engkau telah memperoleh keuntungan yang sangat besar dan derajat yang tinggi karena akan berteman dengan Rasulullah Saw. di surga,” ujar mereka dengan penuh keharuan. Satu per satu mereka memberi selamat kepada Ukasyah dan mencium keningnya.
2. Abu Zaid ‘Amr bin Akhthab Al-Anshari Ra.
Dalam suatu riwayat, Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri berdialog dengan Abu Zaid ‘Amr bin Akhthab al-Anshari Ra. Abu Zaid berkata: “Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai Abu Zaid mendekatlah kepadaku dan usaplah belakang tubuhku.” Maka belakang tubuhnya kuusap, dan terasa jari jemariku menyentuh Khatam.”
Aku (Alba’ bin Ahmar al-Yaskuri) bertanya kepada Abu Zaid: “Apakah Khatam itu?”
Abu Zaid menjawab: “Kumpulan bulu-bulu.” (Riwayat Muhammad bin Basyar dari Abu ‘Ashim dari ‘Uzrah bin Tsabit yang bersumber dari Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri).
3. Salman Al-Farisi Ra.
Abu Buraidah Ra. menceritakan tentang pengalaman Salman al-Farisi Ra. Salman al-Farisi Ra. datang membawa baki (sebuah wadah) berisi kurma kepada Rasulullah Saw. (sewaktu ia baru tiba di Madinah). Baki itu diletakkannya di hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. betanyaa: “Wahai Salman, apa ini?”
Salman menjawab: “Ini sedekah buat tuan dan sahabat tuan.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Bawalah kembali dari sini, saya tidak memakan sedekah.” Baki itu pun diangkat oleh Salman.
Keesokan harinya, ia datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bertanya: “Apakah ini wahai Salman?”
Salman menjawab: “Ini adalah hadiah buat tuan.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya: “Hidangkanlah!”
Kemudian Salman memperhatikan Khatam yang terletak di belakang Rasulullah Saw. (bagian belakang badan Rasul Saw. sebelah atas), maka ia pun (Salman) menyatakan keimanannya kepada beliau Saw.
Salman Ra. adalah budak seorang Yahudi, maka oleh Rasulullah Saw. ia dibeli dengan beberapa dirham, yakni dengan cara mengupah menanam pohon kurma. Salman bekerja di kebun itu sampai pohon-pohon kurman itu berbuah. Rasulullah Saw. membantunya menanam pohon-pohon itu. Diantaranya ada sebatang pohon yang ditanam Umar Ra. Pohon-pohon itu tumbuh dengan subur, kecuali sebatang pohon yang mati.
Rasulullah Saw. bertanya: “Kenapa pohon yang satu ini?” Umar Ra. menjawab: “Wahai Rasulullah, sayalah yang menanamnya.”
Rasulullah Saw. pun mencabutnya, kemudian menanaminya lagi, dan tumbuhlah dengan baik.” (Riwayat Abu ‘Ammar bin Harits al-Khuza’i dari ‘Ali bin Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah yang bersumber dari Abu Buraidah Ra.). (Asy-Syamail al-Muhammadiyyah Bab 2 halaman 21-30).